Senin, 25 April 2011

Risalah Pernikahan


Risalah Pernikahan
oleh : Dr Quraisy shihab

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".

Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali.

Secara umum Al-Quran hanya menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada juga kata wahabat (yang berarti "memberi") digunakan oleh Al-Quran untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi Saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya berlaku bagi Nabi Saw. (QS Al-Ahzab [33]: 50).

Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.

Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:

Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]: 49).

Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dan jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).

BERPASANGAN ADALAH FITRAH

Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah --karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.

Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat anugerah-Nya" (QS An-Nur [24]: 31). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33).

Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan --lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-Nisa' [4]: 19). Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang secara tegas menyatakan.

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah 1a1u
(dimaafkan oleh Allah).

Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi, Aisyah, bahwa pada masa Jahiliah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh rang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil
kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah seorang pun yang seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita
tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.

SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI?

Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:

Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita (QS An-Nisa [4]: 3)

Meskipun demikian, Nabi Muhammad Saw. menyatakan,

Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).

Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau 1aki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pu1a).

Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.

Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusukan kamu,
saudara perempuan sepesusuan,
ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu),
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang disebut di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri.
Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawõnan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA

Al-Quran juga secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2):

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik.

Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS A1-Baqarah [2]: 221).

Menurut sementara ulama walaupun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51: 5 yang menyatakan,

Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara orang-orang yang dianugerahi Kitab (suci) (QS
Al-Ma-idah [5]: 5).

Tetapi izin tersebut telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 di atas. Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar, bahkan mengatakan:

"Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah."

Pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama. Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai orang-orang musyrik. Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah (98): 1 dijadikan salah satu alasannya.

Orang kafir yang terdiri dari Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin (menyatakan bahwa) mereka tidak akan
meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata (QS. Al-Bayyinah [98]: 1).

Ayat ini menjadikan orang kafir terbagi dalam dua kelompok berbeda, yaitu Ahl Al-Kitab dan Al-Musyrikin. Perbedaan ini dipahami dari kata "wa" yang diterjemahkan "dan", yang oleh pakar bahasa dinyatakan sebagai mengandung makna "menghimpun dua hal yang berbeda."

Larangan mengawinkan perempuan Muslimah dengan pria non-Muslim --termasuk pria Ahl Al-Kitab-- diisyaratkan oleh Al-Quran. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah (2): 221 di atas, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dan sedikit pun tidak
menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.

Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika
itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita --jika beragama Islam—dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya, Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun [109]: 6). Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui Muhammad
Saw. sebagai nabi. Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai
"wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. [1] Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.

Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya. [2]

Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim --berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya-- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.

Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi --sebagaimana sering terjadi pada masa kini-- maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.

Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

POLIGAMI DAN MONOGAMI

Al-Quran surat Al-Nisa' [4]: 3 menyatakan,

Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Atas dasar ayat inilah sehingga Nabi Saw. melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal, setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita. Imam Malik, An-Nasa'i, dan Ad-Daraquthni meriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda kepada Sailan bin Umayyah, yang ketika itu memiliki sepuluh orang istri.

Pilihlah dari mereka empat oranq (istri) dan ceraikan selebihnya.

Di sisi 1ain ayat ini pula yang menjadi dasar bolehnya poligami. Sayang ayat ini sering disalahpahami. Ayat ini turun --sebagaimana diuraikan oleh istri Nabi Aisyah r.a.-- menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut dengan satu susunan kalimat yang sangat tegas. Penyebutan "dua, tiga atau empat" pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang 1ain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan
larangan itu dikatakannya, "Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan Anda selama Anda tidak khawatir sakit". Tentu saja perintah menghabiskan makanan yang lain hanya sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan tertentu itu.
Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun
merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Jika demikian halnya, maka pembahasan tentang poligami dalam syariat Al-Quran, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.

Adalah wajar bagi satu perundangan --apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi-- untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan "kemungkinan".

Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri, atau terjangkiti penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Apakah jalan keluar bagi seorang suami yang dapat diusulkan untuk menghadapi kemungkinan ini? Bagaimana ia menyalurkan kebutuhan biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus diingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Quran hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya. Masih banyak kondisi-kondisi selain yang disebut ini, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup pintu poligami dengan syaratsyarat yang tidak ringan itu.

Perlu juga dijelaskan bahwa keadilan yang disyaratkan oleh ayat yang membolehkan poligami itu, adalah keadilan dalam bidang material. Surat Al-Nisa' [4]: 129 menegaskan juga bahwa,

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin
berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini, adalah keadilan di bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan demikian tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu
poligami serapat-rapatnya.

SYARAT SAH PERNIKAHAN

Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Saw.

Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.

Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarangdinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.

Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi Saw.

Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali.

Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:

... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan baka1 suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS Al-Baqarah [2]: 232).

Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki, "Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di atas tidak ada artinya," dan karena itu pula terhadap para wali ditujukan firman Allah.

Janganlah kamu menikahkan (mengawinkan) orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukminah) sebelum mereka beriman (QS Al-Baqarah [2]: 221).

Sedang ketika Al-Quran berbicara kepada kaum pria nyatakannya, Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun ia menarik hatimu (QS AlBaqarah [2]: 221).

Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan 1ain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:

Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS Al-Baqarah [2): 234).

Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita bebas melakukan apa saja yang baik --bukan sekadar berhias, bepergian, atau menerima pinangan—sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping itu, kata
penganut paham ini, Al-Quran juga --dan bukan hanya sekali-- menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya firman-Nya, Sampai dia menikah dengan suami yang la~n (QS Al-Baqarah [2]: 30).

Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan
jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas.

Hemat penulis adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan. Ini sejalan dengan jiwa perintah Al-Quran yang
menyatakan, "Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan) mereka." (QS Al-Nisa' [4]: 25). Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini.

Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang sah adalah saksi-saksi. Penulis tidak menemukan hal ini disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak hadis menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah,
Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksiantersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.

Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi'I dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.

Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang
disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.

Namun demikian, menurut hemat penulis, dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri).
Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.

Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.

Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar.

Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelann (QSA1-Nisa' [4]: 4).

Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya.

Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan: Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya.

Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20). Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.

"Apakah kalian (hai para suami) akan mengambil nya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan
menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) te1ah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).

Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.

Carilah walau cincin dari besi.

Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah pernah bersabda,

Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).

Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat
berarti: atau paling tidak "mewujudkan suatu kewajiban" yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.

Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi Saw. dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya:

"Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah."

Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkanjuga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung
"kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api,
bila hanya satu re1 saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".

Bahwa Al-Quran menggunakan kata wahabat khusus kepada Nabi Saw. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi Saw.

Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna) sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang
kusampaikan.

Demikian sabda Nabi Saw. Dalam kesempatan yang lain Nabi bersabda:

Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik).

Makna ini sejalan dengan firman Allah,

Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada diri mereka sendiri (QS Al-Ahzab [33]: 6).

Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu sendiri menurut Al-Quran:

Te1ah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya (QS Al-An'am [6]: 115).

"Dia penuh kebajikan" (QS Al-A'raf [7]: 137), lagi "Dan kalimat Allah itulah yang Mahatinggi" (QS Al-Tawbah [9): 40).

Dengan kalimat itulah Allah menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri, serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah, dan diakuinya sebagai "seorang terkemuka di dunia dan di akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 45).

Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.

TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN

Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali ruhani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara, karena Al-Quran memerintahkan, Pergaulilah istri-istrimu dengan baik dan apabila kamu tidak lagi menyukai (mencintai) mereka (jangan putuskan
tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu tetapi Allah menjadikan padanya (di
balik itu) kebaikan yang banyak (QS Al-Nisa' [4]: l9).

Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang
bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari
pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.

Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan
kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.

Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.

Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka (QS Al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini tidak hanya mengisyaratkan bahwa suami-istri saling membutuhkan sebagaimana kebutuhan manusia pada pakaian, tetapi juga berarti bahwa suami istri --orang masing-masing menurut kodratnya memiliki kekurangan-- harus dapat berfungsi "menutup kekurangan pasangannya". sebagaimana pakaian menutup aurat (kekurangan) pemakainya.

Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul Saw. Dalam sabdanya,

Kalian menerima istri berdasar amanah Allah.

Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.

Istri adalah amanah di pelukan suami, suami pun amanat di pangkuan istri. Tidak mungkin orang tua dan keluarga masing-masing akan merestui perkawinan tanpa adanya rasa percaya dan aman itu. Suami --demikian juga istri-- tidak akan menjalin hubungan tanpa merasa aman dan percaya kepada
pasangannya.

Kesediasn seorang istri untuk hidup bersama dengan seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya, dan "mengganti" semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama lelaki "asing" yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya yang paling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil, kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan
istri kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa' [4): 21).

SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA

Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di bawah satu rumah tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.

Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34).

Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:
1. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan
2. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk istri/keluarganya).

Alasan kedua agaknya cukup logis. Bukankah di balik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas?

Adapun alasan pertama, maka ini berkaitan dengan faktor psikis lelaki dan perempuan. Sementara psikolog berpendapat bahwa perempuan berjalan di bawah bimbingan perasaan, sedang lelaki di bawah pertimbangan akal. Walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki da1am hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Keistimewaan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Keistimewaan ini amat diperlukan dalam memelihara anak. Sedang keistimewaan utama lelaki adalah konsistensinya serta kecenderungannya berpikir secara praktis. Keistimewaan ini menjadikan ia diserahi tugas kepemimpinan rumah tangga.

Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf akan tetapi para
suami mempunyai satu derajat kelebihan atas mereka (para istri)". (QS A1-Baqarah [2]: 228).

Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam Ath-Thabari, "Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu."

Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya."

"Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain adalah bahwa suami bagaikan pemerintah, dan dalam kedudukannya seperti itu, dia berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya
(istrinya). Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi." Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi.

Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.

Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini
Al-Quran berpesan, Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari ke1uarga perempuan. Jika keduanya (suami istri dan para hakam) ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah memberi bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa' [4]: 35).

TUJUAN PERKAWINAN

Sepintas boleh jadi ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa "pemenuhan kebutuhan seksual merupakan tujuan utama perkawinan, dan dengan demikian fungsi utamanya adalah reproduksi".

Benarkah demikian? Baiklah terlebih dahulu kita menggarisbawahi bahwa dalam pandangan ajaran Islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Mengapa kotor, atau perlu dihindari, sedang Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui law of sex, bahkan secara tersurat antara lain dalam surat Al-Baqarah (2): 187,

Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu.

Dalam ayat lain Allah berfirman:

Istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untukmu, maka datangilah (garaplah) ladang kamu
bagaimana~ saja kamu kehendaki (QS Al-Baqarah [2]: 223).

Karena hubungan seks harus bersih, maka hubungan tersebut harus dimulai dan dalam suasana suci bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran. Karena itu, Rasulullah Saw. menganjurkan agar berdoa menjelang hubungan seks dimulai.

Beberapa ayat Al-Quran sangat menarik untuk direnungkan dalam konteks pembicaraan kita ini adalah:

(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dan jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dan jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu ... Tidak ada sesuatu pun yang serupa denan Dia, dan Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11).

Binatang ternak berpasangan untuk berkembang biak, manusia pun demikian, begitu pesan ayat di atas. Tetapi dalam ayat di atas tidak disebutkan kalimat mawaddah dan rahmah, sebagaimana ditegaskan ketika Al-Quran berbicara tetang pernikahan manusia.
Di antara tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah adalah Dia menciptakan dari jenismu pasangan-pasangan agar kamu (masing-masing) memperoleh ketenteraman dari (pasangan)-nya, dari dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir (QS Al-Rum [30]: 21).

Mengapa demikian? Tidak lain karena manusia diberi tugas oleh-Nya untuk membangun peradaban, yaitu manusia diberi tugas untuk menjadi khalifah di dunia ini.

Cinta kasih, mawaddah dan rahmah yang dianugerahkan Allah kepada sepasang suami istri adalah untuk satu tugas yang berat tetapi mulia. Malaikat pun berkeinginan untuk melaksanakannya, tetapi kehormatan itu diserahkan Allah kepada manusia.

Demikian sekilas pandangan Al-Quran tentang pernikahan, tentu saja lembaran kecil ini tidak menggambarkan secara sempurna wawasan Kitab Suci itu, namun paling tidak apa yang dikemukakan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran umum.

0 comments:

Posting Komentar